Wisuda CC Situbondo Angkatan V (2009-2010) - ITS, Surabaya 29 Nopember 2010


SELAMAT KEPADA PARA WISUDWAN CC SITUBONDO ANGKATAN KE V - 2009/2010
SEMOGA APA YANG TELAH DIDAPAT DALAM PERKULIAHAN 1 TAHUN YANG LALU DAPAT BERGUNA SEBAGAIMANA YANG DI HARAPKAN. AMIN. SUKSES BUAT KITA SEMUA.

Apa Itu "Wedhus Gembel"?

KOMPAS.com — Wedhus gembel alias domba sebenarnya bukanlah hewan yang banyak dipelihara di sekitar Yogyakarta dan Jawa Tengah. Namun, nama wedhus gembel akrab terdengar bagi warga di sekitar Gunung Merapi. Wedhus gembel yang dimaksud ini bukanlah kambing berbulu lebat, melainkan julukan untuk awan panas bergulung-gulung yang acap menyertai letusan Merapi.
Mengutip Badan Penyelidikan dan Pengembangan Teknologi Kegunungapian (BPPTK), awan panas Merapi terdiri dari dua bagian. Pertama, bagian fragmen batuan dalam berbagai ukuran, termasuk yang seukuran debu, dan kedua, gumpalan gas bersuhu 200-700 derajat celsius.
Kedua unsur ini bercampur mengalir secara turbulen dengan kecepatan lebih dari 80 kilometer per jam. Yang menewaskan banyak warga lereng Merapi beberapa waktu lalu bahkan mencapai kecepatan 200 km per jam saat turun dari punggung gunung. Abu vulkanik tersebar dari awan panas yang terbang dan terendapkan menurut besar dan arah angin.
Jarak luncur awan panas umumnya bergantung kepada volume dan formasinya dan bergerak mengikuti alur topografi dan lembah sungai.Volume lebih besar akan menjangkau area yang lebih jauh akibat pengaruh momentum dan efek lain. Tak heran apabila pada letusan besar, awan panas bisa menjangkau hingga 15 kilometer. Awan panas letusan biasanya bisa mengalir sejauh lebih dari 8 kilometer dari puncak.
Selain volume, jauhnya jarak luncur awan panas juga dipengaruhi oleh temperatur yang lebih tinggi, kandungan gas lebih banyak, dan memiliki kecepatan awal lateral pada saat jatuh. Dengan kondisi lebih banyak gas dan temperatur tinggi, wedhus gembel dipastikan merusak apa saja yang ditemuinya. Jadi siapa pun yang berada di sekitar Merapi selayaknya tidak ingin bertemu dengan "binatang" satu ini.

Apakah Kubah Lava Merapi Itu?

YOGYAKARTA, KOMPAS.com - Magma dengan berat jenis dan kekentalan tinggi bila keluar ke permukaan akan mengalami pendinginan yang kemudian mengendap serta menumpuk dalam kawah membentuk gundukan kubah lava. Jika kubah lava berkembang melebihi limit spesifik yang berkaitan dengan kekuatan, ketebalan, dan kemiringan lereng dan oleh adanya gaya gravitasi, maka kubah akan runtuh menghasilkan awan panas guguran.
Kubah lava berperan penting dalam proses erupsi, yang merupakan ciri khas Merapi, yaitu adanya pertumbuhan dan penghancuran kubah lava. Kubah lava dapat diamati secara visual. Parameter yang penting untuk dipantau secara umum adalah morfologi, volume, dan lokasi topografis tumbuhnya kubah.
Sebelum teknik fotografi ditemukan, analisis pengamatan kubah dilakukan melalui sketsa tangan. Setelah kamera fotografi dengan film ditemukan dan berkembang, peranan sketsa perlahan tergeser.
Pada zaman sekarang, perkembangan teknologi fotografi digital sangat membantu proses analisis pengamatan kubah secara lebih akurat. Foto satelit, yang berbiaya sangat mahal, kadangkala sangat diperlukan sebagai pembanding dari foto yang diambil dari permukaan bumi.
Informasi dasar Merapi
Lokasi Geografis: Pulau Jawa, Provinsi Jawa Tengah dan Yogyakarta. Tipe: Stratovolcano Dimensi (perkiraan): Garis tengah 28 km, area 300-400 km2, volume 150 km3 Titik tertinggi (WGS-84): Puncak Garuda 2987 meter, koordinat 7"32'25.39S 110"26'49.02"E
Konteks Geodinamika: Konvergensi lempeng Indo-australia dengan lempeng benua Asia.
Petrologi: magma tipe basaltik-andesitik. Dinamika erupsi: leleran lava, pembentukan kubah, terjadi awan panas, dan sesekali bersifat eksplosif. (Sumber: Badan Penyelidikan dan Pengembangan Teknologi Kegunungapian/ BPPTK Yogyakarta).

"Mengejar Impian", Beginilah Potret Pendidikan Kita...

JAKARTA, KOMPAS.com - Mendapatkan pendidikan berkualitas di negeri ini masih merupakan impian yang harus dikejar oleh remaja-remaja Indonesia dengan pengorbanan yang tinggi.

Data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2010 memaparkan lebih dari 31 juta penduduk Indonesia hidup di bawah garis kemiskinan, di sisi lain berdasar data Kementrian Pendidikan Nasional sekitar 1.5 juta remaja Indonesia terpaksa putus sekolah setiap tahunnya.

Kondisi nyata itulah yang digambarkan dalam Mengejar Impian, sebuah film dokumenter karya sutradara Nia Dinata. Film yang diproduksi atas kerjasama antara Putera Sampoerna Foundation dan Kalyana Shira Foundation ini sarat akan nilai-nilai perjuangan, kegigihan, serta pengorbanan remaja Indonesia dalam upaya meraih mimpi mendapatkan pendidikan berkualitas di negeri ini.

Mengejar Impian mengangkat kisah nyata lima remaja Indonesia, yaitu Aang Kunaifi, Cahya Nur Aisah, Octika Adinda Putri, Praptaning Budi Utami dan Rahmatillah.

Dikisahkan, selain memiliki banyak kesamaan, yakni sama-sama cerdas dan berprestasi, kelima remaja tersebut juga berasal dari keluarga prasejahtera, sehingga sama-sama harus berjuang keras untuk bisa melanjutkan pendidikan ke jenjang SMA.

"Bagi kelima remaja ini, dapat duduk di bangku SMA merupakan sebuah impian yang hanya bisa menjadi nyata bilamana mereka mendapatkan beasiswa," ujar Nia Dinata saat menghadiri pemutaran perdana film tersebut, Selasa (9/11/2010), di Jakarta.

"Ini perjalanan mengharukan dan saya berkesempatan mengenal kelima remaja Indonesia yang dengan gigih dan penuh keyakinan melewati berbagai rintangan dalam memperjuangkan masa depannya," tambahnya.

Nenny Soemawinata, Managing Director Putera Sampoerna Foundation dan Produser Film Mengejar Impian menuturkan, memilih film dokumenter setelah melihat sulitnya keseharian anak-anak prasejahtera mendapatkan pendidikan yang baik.

Pendidikan berkualitas bagi mereka adalah perjuangan. "Contoh, saat akan di-interview di SMAN 10 Malang-Sampoerna Academy, ada 3.015 siswa dan yang diterima hanya 150 siswa. Buat mereka, seleksi ini sebuah perjuangan, mau mengikuti interview juga tidak mudah, ada yang menempuh perjalanan 4-10 jam dengan berjalan kaki, naik kapal, dan lain-lain," ujar Nenny.

Dia menambahkan, film Mengejar Impian merupakan potret kerasnya kehidupan yang harus dilalui oleh remaja Indonesia, untuk bertahan di bangku sekolah. Aang, Cahya, Nuning, Tika, dan Rahmatillah hanyalah lima dari puluhan juta remaja Indonesia yang harus menggantungkan nasib pendidikannya pada beasiswa.

Rencananya dalam waktu dekat film tersebut akan diputar di 7 kota seperti Jakarta, Bandung, Yogyakarta, Malang dan di beberapa universitas dan sekolah

Makna Kepahlawanan

MASIH ingat Hari Pahlawan? Apakah kita segenap bangsa Indonesia masih menundukkan kepala sejenak guna mengenang jasa-jasa para pahlawan yang telah gugur di medan perjuangan? Makna apakah yang dapat kita tangkap dari Hari Pahlawan? Dapatkah kita mengaktualkan Hari Pahlawan yang dapat kita gunakan dalam kehidupan kita saat ini?

Sejumlah pertanyaan ini patut kita kedepankan sehubungan dengan Hari Pahlawan yang kita peringati hari ini, Rabu 10 November 2010. Dipilihnya tanggal 10 November sebagai Hari Pahlawan karena pada tanggal tersebut 65 tahun silam para pejuang kita bertempur mati-matian untuk melawan tentara Inggris di Surabaya. Mereka bersedia mengorbankan harta dan nyawanya untuk memperjuangkan dan mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia. Para penjajah ternyata tidak rela membiarkan bangsa Indonesia mereguk kebebasannya. Mereka tetap ingin mengendalikan kehidupan kita yang telah mereka lakukan cukup lama di bumi pertiwi ini.

Saat itu, pejuang kita hanya mengandalkan bambu runcing. Namun, mereka tidak pernah gentar untuk melawan penjajah. Kita masih ingat tokoh yang terkenal pada saat perjuangan itu, yakni Bung Tomo yang mampu menyalakan semangat perjuangan rakyat lewat siaran-siarannya radionya. Selain itu, ada Ruslan Abdul Gani, seorang pelaku sejarah waktu itu.

Bangsa ini setiap tahun memperingati Hari Pahlawan. Termasuk kita yang ada di NTT juga merayakannnya. Namun terasa, mutu peringatan itu menurun dari tahun ke tahun. Kita sudah makin tidak menghayati makna Hari Pahlawan. Peringatan yang kita lakukan sekarang cenderung bersifat seremonial, yakni dengan melaksanakan upacara pengibaran bendera yang disertai mengheningkan cipta. Setelah itu selesai.

Memang kita tidak ikut mengorbankan nyawa seperti para pejuang di Surabaya pada waktu itu. Tugas kita saat ini adalah memberi makna baru kepahlawanan dan mengisi kemerdekaan sesuai dengan perkembangan zaman. Saat memperjuangkan dan mempertahankan kemerdekaan, rakyat telah mengorbankan nyawanya. Kita wajib menundukkan kepala untuk mengenang jasa-jasa mereka. Karena itulah kita merayakan Hari Pahlawan setiap 10 November.

Akan tetapi kepahlawanan tidak hanya berhenti di sana. Dalam mengisi kemerdekaan pun kita dituntut untuk menjadi pahlawan. Bukankah arti pahlawan itu adalah orang yang menonjol karena keberanian dan pengorbanannya dalam membela kebenaran? Bukankah makna pahlawan itu adalah pejuang gagah berani? Bukankah makna kepahlawanan tak lain adalah perihal sifat pahlawan seperti keberanian, keperkasaan, kerelaan berkorban, dan kekesatriaan? Bukankah makna kepahlawanan sesungguhnya adalah sosok yang mau memikirkan orang banyak dengan kehendak yang kuat, bukan mengembangkan kepentingan sendiri?

Menghadapi situasi seperti sekarang, kita berharap muncul banyak pahlawan dalam segala bidang kehidupan. Dalam konteks ini kita dapat mengisi makna Hari Pahlawan yang kita peringati setiap tahun pada 10 November. Bangsa ini, termasuk NTT, sedang membutuhkan banyak pahlawan untuk mewujudkan Indonesia yang damai, adil dan demokratis serta meningkatkan kesejahteraan rakyat.

Kita mencatat, NTT adalah daerah bencana. Kasus terkini adalah bencana di Desa Skinu, Kabupaten Timor Tengah Selatan. Kita membutuhkan orang yang peduli terhadap lingkungan. Kita membutuhkan orang yang solider dengan penderitaan yang dialami saudara-saudara kita karena bencana.

NTT juga sedang dililit kanker korupsi yang sudah mencapai stadium terakhir. Kita membutuhkan orang-orang berani untuk memberantasnya. Seorang ilmuwan pun bisa menjadi pahlawan dalam bidangnya berkat penemuannya yang dapat menyejahterahkan rakyat NTT.

Setiap orang harus berjuang untuk menjadi pahlawan. Karena itu, hari pahlawan tidak hanya pada 10 November, tetapi berlangsung setiap hari dalam hidup kita. Setiap hari kita berjuang paling tidak menjadi pahlawan untuk diri kita sendiri dan keluarga. Artinya, kita menjadi warga yang baik dan meningkatkan prestasi dalam kehidupan masing-masing. Memang tidak mudah untuk menjadi pahlawan. Lebih mudah bagi kita menjadi pahlawan kesiangan.

Hari ini kita merayakan Hari Pahlawan untuk mengenang jasa para pejuang pada masa silam. Patut kita bertanya pada diri sendiri, apakah saya rela mengorbankan diri untuk mengembangkan diri dalam bidang kita masing-masing dan mencetak prestasi dengan cara yang adil, pantas dan wajar? Selamat Hari Pahlawan!

Lebih Dekat dengan "Mbah Rono"

Oleh: Doty Damayanti & Mohamad Final Daeng

Wajah lelah kurang tidur dari pria berkumis dan berkacamata dengan rambut agak kribo itu akrab bagi pemirsa televisi. Kalimat yang dia ucapkan tidak pernah bombastis meski itu menyangkut bencana letusan Gunung Merapi—gunung teraktif di Indonesia—yang sejak 26 Oktober lalu letusannya kian mengancam jiwa mereka yang berdiam di sekitar Merapi.

Bergulat dengan perilaku gunung api sejak tahun 1982, tugas yang diemban Surono meliputi tiga aras: riset pengetahuan, publikasi, dan keselamatan warga. Tiga kepentingan yang sering kali memunculkan dilema.

Lulusan jurusan Fisika ini terpanggil menekuni kegunungapian setelah pengalamannya membawa seorang periset Amerika Serikat ke Gunung Galunggung, Provinsi Jawa Barat, tahun 1982, sementara Gunung Kelud memberikan pelajaran baru tentang berubahnya perilaku sebuah gunung api. Kelud yang dikenal ledakannya yang eksplosif (meletus dengan kekuatan besar) menjadi efusif (materi piroklastik tidak dilontarkan ke udara, tetapi meleleh, mengalir di punggung gunung).


Tugasnya mengawal Gunung Merapi kali ini entah kapan berakhir. Tak seorang pun tahu. Namun, Surono pasti akan tetap setia untuk menerapkan prinsipnya: toleransi nol demi keselamatan jiwa manusia (zero tolerance for a safe life).

Di bawah merupakan rangkuman wawancara Kompas di berbagai kesempatan, termasuk di sela-sela kesibukannya melihat pemasangan alat seismik di Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Sabtu (6/11/2010).

Ambil alih komando

Sejak Merapi berstatus Awas pada 25 Oktober lalu, Surono, sebagai Kepala Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi Badan Geologi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, mengambil alih komando pemantauan dan mitigasi bencana yang sebelumnya dipegang Balai Penyelidikan dan Pengembangan Teknologi Kegunungapian Yogyakarta.

Sejak saat itu seluruh data pemantauan instrumental dan visual Merapi diolah, diserap, dan dianalisisnya untuk mengambil keputusan-keputusan penting, khususnya terkait dengan keamanan warga di sekitar Merapi—ini terkait dengan penentuan radius bahaya primer Merapi.

Tugas yang diembannya amat berat mengingat faktor-faktor: tingkat kesulitan yang tinggi dalam memprediksi perilaku suatu gunung api, keselamatan jiwa warga yang dipertaruhkan, serta dampak-dampak sosial, ekonomi, dan psikologis dari sebuah keputusan. Di ranah itulah posisi Surono berada. Selalu menghadapi dilema dari waktu ke waktu. Hasil analisis dan keputusannya diteruskan sebagai rekomendasi kepada pemerintah daerah sekeliling Merapi dan pihak-pihak terkait lainnya.

Rekomendasi itu menjadi patokan bertindak, khususnya dalam upaya mitigasi dengan mengevakuasi warga. Maka, Surono pun sering dipanggil dengan sebutan Mbah Rono, mengacu pada panggilan kuncen gunung—yang perannya dekat dengan warga.

Salah satu saat paling krusial adalah saat dia menaikkan status Merapi dari Siaga (level III) menjadi Awas (level tertinggi), pada 25 Oktober. Status Awas mengandung konsekuensi: pemerintah harus mengungsikan puluhan ribu penduduk dari ”zona merah”—saat itu radiusnya 10 kilometer dari puncak.

”Jika jarak waktu antara status Awas dan letusan terlalu pendek, pemerintah daerah tidak akan punya cukup waktu mengevakuasi warga. Namun, jika jaraknya terlalu lama, akan menimbulkan masalah sosial besar karena warga akan terlalu lama di pengungsian,” ujarnya suatu waktu.

Dengan segala pengalaman, pengetahuan, dan teknologi terbatas untuk memahami gunung berapi, Surono harus mengambil keputusan dalam kondisi genting. Benar saja, 35 jam setelah ditetapkan berstatus Awas, Merapi meletus pertama kali pada 26 Oktober pukul 17.02.

Meski puluhan ribu jiwa terselamatkan, Surono tetap merasa gagal karena masih terdapat 32 korban jiwa, termasuk juru kunci Merapi, Mbah Maridjan. ”Saya merasa gagal karena ternyata tidak bisa dipercaya oleh mereka yang masih bertahan di zona bahaya,” ujar Surono.

Tidak ada pengetahuan yang bisa mengontrol kemauan alam, termasuk mengatur Merapi.

Letusan 26 Oktober itu bukan babak akhir drama Merapi tahun ini. Rentetan letusan hingga Jumat (5/11/2010) terus terjadi—letusan pada 3 November dan 5 November berskala lebih dahsyat dibandingkan dengan letusan 26 Oktober. Keputusan-keputusan krusial terus menghadang dari waktu ke waktu.

Bahkan sempat keputusan memperluas radius berbahaya menjadi berbeda dengan pemerintah setempat. Radius bahaya terus meluas dari 10 km menjadi15 km (3 November) dan menjadi 20 km pada 5 November. Tugas Surono masih panjang karena tidak ada yang tahu kapan gejolak Merapi akan berhenti. Tak ada yang bisa menjamin klimaks letusan telah tercapai.

Tugas Surono semakin berat dan memusingkan karena kali ini Merapi keluar dari tabiat khasnya yang ”kalem” dan tidak meledak-ledak. Meski sudah ada persiapan sejak tahun 2007, setelah Merapi meletus 2006, tak seorang pun mengira letusan kali ini bakal sedemikian besar.

”Tadinya kami mengira masyarakat kita sudah cukup terdidik untuk menghadapi bahaya letusan Merapi. Masyarakat masih terus mengacu pada pengalaman letusan-letusan sebelumnya. Padahal, generasi yang mengalami letusan tahun 1930 tinggal sedikit, sementara letusan tahun 1994 dan 2006 sifatnya hanya sektoral dan kecil. Kita perlu belajar bahwa ternyata Merapi berubah,” tutur Surono.

Ingatan empiris

Dia menjelaskan, karena acuan yang ada hanya ingatan empiris, pada waktu Awas masyarakat tidak melihat api diam, juga tidak terbiasa dengan status Awas yang demikian pendek. Rupanya kekagetan melihat perilaku Merapi yang berubah juga dialami ilmuwannya. Sejak tanggal 23 Oktober, energi Merapi meningkat langsung menjadi tiga kali lipat daripada letusan 1997, 2001, ataupun 2006.

”Sewaktu kita mau menaikkan ke status Awas, proses pengambilan keputusannya jadi krusial karena hanya sejam,” katanya.

”Tidak ada pengetahuan yang bisa mengontrol kemauan alam, termasuk mengatur Merapi. Yang tahu maunya Merapi, ya cuma Merapi sendiri. Saya hanya membaca dan menyampaikan pesan-pesannya,” ujarnya.

Dia kini sering menambahkan, ”Mari kita berdoa, berharap yang terbaik yang terjadi, semoga kondisi tidak semakin parah.”

Sebagai upaya mitigasi, tidak perlu semua gunung api ditambah alat pemantau. ”Selektif saja, di daerah bahaya yang dekat dengan tempat wisata. City volcano, seperti Merapi ini, perlu ditambah peralatan pemantaunya, makanya kita datangkan dari Sinabung. Dari empat stasiun pemantau di Merapi, tinggal Plawangan yang menyala, tiga yang lain mati, tidak kuat terkena erupsi. Sekarang sedang kita tambah dengan memasang alat pemantau di UGM, Museum Merapi, dan Imogiri,” tuturnya.

Dia menegaskan, data dari pos-pos gunung api adalah lini pertahanan terdepan, lini kedua ada di kantor pusat vulkanologi di Bandung. ”Sistem peringatan dini yang kita pasang harus disertai riset tentang karakter setiap gunung api,” lanjutnya.

Sebagai negeri di daerah cincin api dengan 129 gunung api, negeri ini kaya akan ilmuwan. ”Ahli kita banyak sebenarnya, banyak yang dilamar oleh lembaga riset luar negeri. Riset itu penting, tetapi tetap harus berguna, harus bisa dipakai untuk mitigasi, what next, jangan sampai riset itu kesimpulannya masih kurang data dan perlu riset lanjutan,” tegasnya.

Teknologi yang dimiliki Indonesia sebenarnya telah mencukupi. Dia tak rela jika Indonesia menjadi laboratorium dunia. ”Orang luar mencoba alat, lalu kalau bagus dijual ke kita. Ketika Badan Geologi AS (USGS) menawari Indonesia masuk dalam pemantauan 1.000 gunung api, saya tanya ke staf saya, ’Bisa tidak kamu belajar di sana lalu kamu curi ilmunya’.”

”Target kita, tahun 2011 sudah harus mandiri dalam teknologi. Tahun ini peta kawasan rawan bencana gunung api tipe A sudah harus selesai agar pemerintah daerah bisa segera menyesuaikan dengan penyusunan tata ruang,” ungkapnya.

Soal Praktek Ms. Excel (Kelas A, B, C) 2010/2011

File tugas untuk mahasiswa MAN 2 Situbondo Kelas A, B dan C.
Tugas Praktek Ms. Excel silahkan download filenya di bawah ini :

Klik salah satu Link dibawah ini

Download File Tugas

atau

Download File Tugas

File terdiri dari 2 halaman, setelah file di download, silahkan di Print dan wajib dibawa pada saat perkuliahan.

Gunung Merapi III

Antara Merapi, Keraton dan Pantai Selatan
Ada garis lurus antara Keraton dan Merapi. Apa arti gunung itu bagi Keraton Yogyakarta?

VIVAnews - Wedhus gembel atau awan panas dari erupsi Gunung Merapi pada Selasa 26 Oktober 2010 petang menewaskan 35 orang termasuk Mas Penewu Ki Suraksohargo atau penjaga Gunung Merapi, Mbah Maridjan, dan rekan kami Redaktur Senior VIVAnews.com, Yuniawan Wahyu Nugroho.
Mbah Maridjan adalah sosok kontroversial. Namanya meroket sejak menolak perintah Sri Sultan Hamengkubuwono X, ketika Merapi meletus pada tahun 2006, untuk mengungsi dari tempat tinggalnya di Dusun Kinahrejo, Kecamatan Cangkringan, Kabupaten Sleman, Yogyakarta. Tempat tinggalnya memang sangat rawan, merupakan daerah tertinggi yang paling dekat dengan puncak Merapi.
Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa keengganan Mbak Maridjan mengungsi merupakan bentuk loyalitas terhadap perintah Sri Sultan Hamengkubuwono IX untuk menjaga Merapi. Yang menjadi pertanyaan mengapa raja Yogyakarta sampai perlu memerintahkan orang untuk “menjaga’ gunung paling aktif dan destruktif di dunia tersebut?
Menurut Nelly Murni Roossadha, dari Departemen Antropologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Politik, Universitas Indonesia, dalam makalahnya berjudul Merapi:
Gejala Alam, Sistem Tanda, dan Interaksi Sosial, gunung tersebut menduduki posisi penting dalam mitologi Jawa.
Diyakini sebagai pusat kerajaan mahluk halus, sebagai ‘swarga pangrantunan’, tempat di alam baka untuk menunggu giliran para roh yang meninggal dipanggil ke surga.
Gunung Merapi, kata dia, selain merupakan sebuah fenomena alam, yang dapat dijelaskan oleh para ilmuwan vulkanologi, dengan segala perangkat canggihnya, juga merupakan simbol kekuatan magis yang melingkupi Yogyakarta.
Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat, Pantai Parang Kusumo di Laut Selatan, dan juga Gunung Merapi berada dalam satu garis lurus yang dihubungkan oleh Tugu Jogja di tengahnya.
Pengamatan citra satelit memang memperlihatkan lokasi-lokasi tersebut, berikut jalan yang menghubungkannya, hampir terletak segaris dan hanya meleset beberapa derajat.
Keberadaan garis imajiner tersebut dibenarkan oleh mantan Guru Besar Filsafat Universitas Gadjah Mada Profesor Damarjati Supadjar. "Garis imajiner itu sudah menjadi wacana lama," kata Damarjati kepada VIVAnews.com, Jumat 20 Oktober 2010.
Gunung Merapi terletak di perbatasan DIY dan Jawa Tengah, yang juga sebagai batas utara Yogyakarta. Disinilah garis lurus itu dimulai. Membujur ke arah selatan, terdapat Tugu Yogya.
Tugu menjadi simbol 'manunggaling kawulo gusti' yang juga berarti bersatunya antara raja (golong) dan rakyat (gilig). Simbol ini juga dapat dilihat dari segi mistis yaitu persatuan antara khalik (Sang Pencipta) dan makhluk (ciptaan).
Garis selanjutnya mengarah ke Keraton dan kemudian lurus ke selatan terdapat Panggung Krapyak. Gedhong Panggung, demikian bangunan itu kini disebut, merupakan podium batu bata setinggi 4 meter, lebar 5 meter, dan panjang 6 meter. Tebal dindingnya mencapai 1 meter. Bangunan di sebelah selatan Keraton ini menjadi batas selatan kota tua Yogyakarta. Titik terakhir dari garis imajiner itu adalah Pantai Parang Kusumo, di Laut Selatan dengan mitos Nyi Roro Kidul-nya. Seperti Merapi, pada titik ini juga ada juru kuncinya, yaitu RP Suraksotarwono.
Bagi Damarjati, daerah-daerah yang dilintasi garis lurus imajiner itu hanya 'kebetulan' saja terlintasi garis. Tetapi yang sesungguhnya memiliki arti adalah titik di masing-masing ujung imajiner, Merapi dan Laut Selatan.
Dua lokasi itu memiliki arti yang sangat penting bagi Keraton yang dibangun berdasarkan pertimbangan keseimbangan dan keharmonisan. Keraton merupakan titik imbang dari api dan air. Api dilambangkan oleh Gunung Merapi, sedangkan air dilambangkan pada titik paling selatan, Pantai Parang Kusumo. Dan keraton berada di titik tengahnya. "Keraton dan dua daerah itu merupakan titik keseimbangan antara vertikal dan horizontal," jelas Damarjati.
Keseimbangan horizontal dilambangkan oleh Laut Selatan yang mencerminkan hubungan manusia dengan manusia. Sedangkan Gunung Merapi melambangkan sisi horizontal yang mencerminkan hubungan antara manusia dengan Yang Maha Kuasa.
Filosofi garis lurus imajiner dari Merapi hingga Laut Selatan ini sarat kearifan lokal. Damarjati menyarankan pemimpin di negeri ini harus peka terhadap peristiwa letusan Merapi yang menewaskan sang juru kunci. Menurut dia, magma dalam gunung Merapi itu tidak boleh tersumbat untuk memuntahkan laharnya. Karena kalau tersumbat, dan terlambat, maka akan mengakibatkan letusan yang luar biasa. "Seperti kalau suara rakyat tersumbat, maka akan terjadi revolusi sosial.”

Gunung Merapi II

Tekad Menyelamatkan si Mbah
Wartawan VIVAnews.com berniat menjemput Mbah Maridjan. Dia gugur bersama si juru kunci.

VIVAnews - Mengamuknya Merapi, gunung berapi berusia jutaan tahun silam itu, menjadiheadlines di hampir media sejak pekan lalu. Yuniawan Wahyu Nugroho, seorang wartawan senior portal berita ini, VIVAnews.com, memantaunya dari newsroom kami di lantai 31, Menara Standard Chartered, Casablanca, Jakarta Pusat.
Bekerja sebagai wartawan lebih dari sepuluh tahun, Wawan--demikian Yuniawan biasa disapa, rajin mengontak sejumlah sumbernya di Yogyakarta. Dia juga teringat Mbah Maridjan, sang juru kunci Merapi yang sikapnya ditunggu masyarakat sekitar, setiap kali Kiai Merapi--nama mistik dari gunung itu--‘marah’.
Pada 2006, saat Merapi memuntahkan lahar, Maridjan memilih tetap tinggal di rumahnya, di Kinahrejo, Umbulharjo, Cangkringan, empat kilometer dari puncak Merapi yang membara.
Sultan Hamengkubuwono X pernah memerintahkannya turun, tapi Maridjan tak peduli. “Saya diberi amanah Sultan Hamengkubuwono IX menjaga Merapi,” begitu alasannya. Ulahnya terang membuat Raja Jawa itu sewot.
Sikap keras memegang amanah, dan nyaris naif itu, justru membuat nama Mbah Maridjan melambung. Selaku juru kunci, dia dipercaya bisa berbicara dengan Merapi, yang oleh masyarakat Jawa sekitar dianggap punya roh. Maridjan diyakini hafal perilaku gunung itu. Warga Kinahrejo pun menjadikannya panutan.
Apalagi, pada 2006, saat debu panas bak gumpalan bulu domba menyapu lereng Kinahrejo. Warga menyebut awan maut itu sebagai wedhus gembel. Semua tumbuhan dan hewan yang dilewatinya tumpas. Tapi Maridjan tetap bertahan di rumahnya. Dia tak mau mengungsi.
Inilah ajaibnya. Awan bersuhu 600-800 derajat Celsius, dan mampu lari 100-300 km per jam itu, seperti tak bisa melewati Kinahrejo. Wedhus gembel itu berhenti, tak jauh di belakang rumah Mbah Maridjan. Masyarakat tercengang. Mbah Maridjan sontak dianggap punya daya linuwih: kekuatan melebihi manusia biasa.
Namanya melejit. Di Jakarta, satu produk minuman berenergi menjadikan dia ikon iklan.
Tapi, Maridjan tak larut dalam dunia selebriti itu. Dia tetap di Kinahrejo. Artis Rieke Dyah Pitaloka yang menjadi pasangannya di klip video reklame itu mengatakan Maridjan sosok sederhana. “Honor perpanjangan kontrak dia bagikan ke beberapa desa di sekitar Kinahrejo. Dia lelaki sederhana, dan tulus mencintai alam,” ujar Rieke kepadaVIVAnews.com, Kamis, 28 Oktober 2010.
***
Sejak beberapa hari sebelum 26 Oktober 2010, Yuniawan berniat bertemu Mbah Maridjan untuk wawancara. Dalam rapat editor, dia mengusulkan pergi ke Yogyakarta untuk berjumpa si juru kunci. Usul itu sempat ditolak, karena wawancara dinilai bisa dilakukan kontributor setempat.
Wawan kembali mengontak Agus Wiyarto, seorang kerabat Maridjan, untuk mengusulkan kontributor mewawancarai Maridjan. Agus menjadi semacam jembatan buat Wawan ke Mbah Maridjan. Ternyata Maridjan, kata Agus, menolak. Dia ingin wawancara dilakukan oleh Wawan sendiri.
Rapat editor pun menyetujui usul itu. Wawan bersiap berangkat ke Yogyakarta pada Selasa siang, 26 Oktober 2010.
Wawan mengenal Maridjan saat liputan bencana Merapi 2006. Saat itu dia bekerja sebagai wartawan di Suara Pembaruan. Seorang seniornya di Suara Pembaruan, Sabar Subekti, mengatakan Wawan mengenal baik Mbah Maridjan. “Sewaktu Merapi meletus 2006 itu, dia nongkrong di rumah Mbah Maridjan,” ujar Sabar, bekas Pemimpin Redaksi Suara Pembaruan.
Sabar waktu itu juga turun ke lapangan. Dia memantau situasi dari Yogyakarta. Sementara Wawan memberikan laporan dari Kinahrejo. Waktu itu, rumah Mbah Maridjan menjadi semacam posko bagi para wartawan. “Dari pagi sampai sore, Wawan berada di sana,” Sabar menambahkan.
Lahir di Blora, 1 Juni 1968, Wawan dikenal sebagai wartawan politik piawai. Sejak lama tampaknya dia berminat pada politik. Pada 1987, dia masuk ke Fakultas Filsafat UGM. Di kampus itu, Wawan lulus dengan skripsi Etika Politik dalam Filsafat Agustinus.
Saat bekerja sebagai wartawan di harian Suara Pembaruan, Wawan meliput di DPR RI. Di sana pula dia belajar jurnalisme presisi, dan itu dibuktikannya saat meliput Pemilu 1999.
“Saya sangat terkesan dengan liputannya di KPU. Berkat kerja Wawan, kami mampu memprediksi hasil pemilu saat itu dengan akurat,” ujar Sabar Subekti, yang pada saat Pemilu 1999 itu menjadi redaktur politik Suara Pembaruan.
Wawan bergabung dengan VIVAnews, sejak situs berita ini berdiri dua tahun lalu. Setelah itu, dia sempat bergabung sebentar dengan Koran Jakarta, sebelum kembali lagi bekerja diVIVAnews, 1 Agustus 2010.
***
Berbekal pengalaman meliput Merapi 2006 itu, pada Selasa 26 Oktober siang, Wawan terbang ke Yogyakarta. “Kami bertemu di Apotek Kentungan, Yogyakarta,” ujar Agus Wiyarto, yang menjemput Wawan bersama kerabatnya, relawan PMI Bantul Tutur Prijono. Saat itu pukul 16.30. Setelah sempat makan sebentar, mereka melaju kencang ke kediaman Mbah Maridjan.
Menurut Agus, sambil makan, Wawan sempat mendiskusikan sejumlah pertanyaan buat Mbah Maridjan. Agus menyarankan wawancara seputar kearifan lokal, dan perkembangan teknologi. Wawan mengambil buku catatannya bersampul hitam, dan mencatat hal-hal penting.
Lalu mereka bertiga meluncur lagi ke arah Kinahrejo. Sekitar sembilan kilometer dari Merapi, di Dusun Beduyu, Agus mendapat informasi ada erupsi ke arah barat sejauh tujuh kilometer. Mereka melaju kencang menuju Kinahrejo. Senja mulai turun.
Di rumah Mbah Maridjan, mereka bertemu putra si Mbah, dan lalu dengan Mbah Maridjan. Menurut Agus, belum banyak yang dibicarakan, hanya ngobrol-ngobrol sebentar.
Agus pun menyampaikan bahwa ada erupsi di bagian barat. Dia berniat membawa turun warga di sana, dan meminta izin si Mbah. “Tapi waktu itu Mbah Maridjan diam saja,” ujar Agus. Saat itu, azan maghrib menggema.
Mengetahui soal erupsi itu, sekitar pukul 17.45, kantor redaksi VIVAnews.com di Jakarta menelepon Wawan. Sinyal tak begitu bagus, dan pembicaraan terputus-putus. Intinya, Wawan mengabarkan dia berada di rumah Mbah Maridjan, bersama orang-orang Satkorlak. Selaku Redaktur Pelaksana yang membawahinya, saya (penulis artikel ini) menelepon Wawan, mengingatkan bahwa telah terjadi erupsi, dan memintanya turun.
Pembicaraan telepon terputus, dan Wawan mengirimkan SMS ke saya, mengulang informasi yang disampaikannya tadi.
“Aku lagi di rumah Mbah Maridjan. Ini banyak tamu orang Satkorlak. Mbah Maridjan masih mau salat,” tulis Wawan.
Lalu, saya membalas: “Hati-hati Wan, jangan sampai kena wedhus gembel.”
Jam menunjukkan pukul 17.50. Ini adalah kontak terakhir Wawan dengan kantor redaksi.
Menurut Agus kemudian, mereka rupanya sempat turun ke lokasi aman. Dia, Wawan, dan Tutur stand by di dekat mobil menunggu orang-orang salat. Baru rakaat pertama, terdengar sirene tanda bahaya. Agus menyuruh sejumlah wartawan dan petugas PLN yang mengecek jaringan untuk segera pergi mengungsi. Sementara Agus masih menunggu keluarga Maridjan dan warga sekitar yang sedang salat.
“Begitu selesai, saya minta semua naik mobil,” ujar Agus.
Awalnya, Wawan tak mau naik. “Akhirnya saya paksa. Dia mau juga masuk ke mobil,” ujar Agus. Ada dua mobil mengangkut orang-orang dari rumah Mbah Maridjan. Satu mobil si Mbah yang mengangkut keluarganya. Mbah Maridjan tak ikut, dia masih salat. Satunya lagi mobil Agus, yang membawa serta warga turun.
Di dalam mobil, kata Agus, Wawan gelisah. “Seharusnya saya bersama si Mbah,” ujar Wawan kepada Agus. Selama di mobil, berkali-kali dia mengulang kalimat itu. Agus diam tak menjawab.
***
Dari barak pengungsian Umbulharjo, mobil berbelok ke rumah Agus. Orang-orang lalu diturunkan.
Tak lama, relawan PMI Tutur Prijono bersama Wawan menyambangi Agus. “Pak, kami mau jemput si Mbah,” ujar Tutur. Agus berusaha mencegah dan meminta mereka jangan sembrono. Tapi, Tutur dan Wawan berkukuh. Agus pun menyerah.
Tutur dan Wawan akhirnya meluncur lagi naik Suzuki APV ke Kinahrejo. Mereka kembali menuju rumah Mbah Maridjan. Sayup-sayup, sirene terdengar meraung.
Sesampainya di Kinahrejo itu, Wawan masih sempat menelepon Rinny Soegiyoharto, seorang sahabat karibnya di Bandung. “Dia bilang ada di rumah Mbah Maridjan, dan menunggu si Mbah yang lagi salat. Saya mendengar ada suara sirene, dan bertanya apakah tak seharusnya dia turun,” ujar Rinny.
Tapi Wawan, kata Rinny, sangat tenang. “Dia mengatakan tak apa-apa, dia menunggu Mbah Maridjan salat.” Wawan yakin, si Mbah sudah bersedia untuk turun bersamanya ke lokasi yang aman.
Pembicaraan terus berlanjut di tengah raungan sirene.
Tiba-tiba, kata Rinny, dia mendengar suara Wawan seperti mengaduh kesakitan. “Aduh, kok ada api ... Aduhh! Panas... Auwww! ... Auwww!” Rinny menirukan suara Wawan. Saat itu sekitar pukul 18.30 WIB.
Telepon Wawan mendadak mati. Lelaki itu tak lagi bisa dikontak, untuk seterusnya.
Di Jakarta, kantor redaksi VIVAnews.com diliputi kecemasan luarbiasa. Para wartawan yang bertugas malam itu menghubungi semua sumber informasi yang mungkin dikontak, dari PMI, SAR, dan juga melapor ke polisi. Kami juga menghubungi Agus Wiyarto, yang juga cemas menunggu informasi tentang Wawan dan Tutur.
Menjelang pukul 23.00 WIB, informasi diterima dari relawan Dompet Dhuafa yang nekat memasuki Kinahrejo untuk mengetahui kondisi korban di sana. Di rumah Mbah Maridjan terkapar 15 mayat dalam keadaan menyedihkan.
Dari dompet sesosok mayat, ditemukan SIM A atas nama Yuniawan Wahyu Nugroho. Dia, kata seorang aktivis Dompet Dhuafa, Iman, ditemukan telungkup. Di sebelahnya tergeletak Tutur, relawan PMI Bantul itu.
“Ikhlaskan, Mas. Mereka telah meninggalkan kita,” ujar Iman kepada Maryadie, seorang redaktur kami.
***
Malam itu, di ruangan redaksi VIVAnews.com semua orang menundukkan kepala. Kursi kosong di meja kerja tempat Wawan biasa duduk, mendadak begitu menikam perasaan. Dia pergi. Tapi, kami semua mengenang Wawan, bahwa dedikasinya pada tugas dan keberaniannya menyelamatkan sesama, menjadi ilham yang akan terus hidup.
Selamat jalan, kawan…

Gunung Merapi I

Merapi, Mbah Maridjan, dan Wawan
Mengapa juru kunci bergaji Rp 8.000 sebulan itu memilih bertahan menghadapi debu panas?

VIVAnews - Jarum jam menunjuk pukul 04.00 WIB. Rabu itu, 27 Oktober 2010, hari masih gelap, tapi rombongan tim SAR telah bersiap. Mereka adalah tim evakuasi gelombang kedua yang hendak menyisir korban keganasanwedhus gembel, debu panas Gunung Merapi. Mereka bergegas berangkat dari posko yang letaknya 1 km dari dukuh yang akhir-akhir ini jadi begitu tersohor, Kinahrejo.

Berdua-dua mereka berboncengan motor menuju ke atas. Ada pula yang berjalan kaki. Semua dilakukan dengan gerak cepat, menuju titik-titik yang telah ditentukan saat briefing. Di antara rombongan beranggotakan sekitar 24 orang itu, Hidayat Wahid, kamerawan tvOne--yang lebih dikenal dengan nama udara Don Wahid--berada di barisan terdepan.

Dan kekhawatiran mereka segera terbukti.

Mereka menemukan jenazah pertama tergolek di pinggiran jalan. Tim langsung memasukkannya ke dalam kantung mayat, dan kembali melanjutkan pencarian.

Cahaya pagi mulai nampak, memperjelas pandangan mengerikan di sekeliling perjalanan. Di kanan-kiri semua hancur. Pohon dan tanaman tumbang, hangus, meranggas, berselimut debu vulkanik yang masih terhirup menembus masker, walaupun sudah dirangkap dua. Bagi Don Wahid, suasana kehancuran ini seperti mimpi. Sepi, mencekam.

Kinahrejo sudah di hadapan. Rumah-rumah terlihat porak-poranda. Cuma Masjid Al Amien yang masih terlihat bentuk aslinya. Bulu kuduk Don merinding ketika ia memasuki rumah Mbah Maridjan, sang juru kunci Gunung Merapi yang dulu sering ia sambangi ketika masih menjadi mahasiswa pecinta alam.

Kursi-kursi kayu panjang tempat si Mbah sering duduk-duduk di depan, sudah lenyap. Rumah itu kini menjadi puing-puing. Beberapa bagiannya bahkan tertutup debu putih hingga setebal 30 cm.

Tim langsung merangsek ke bagian belakang rumah Mbah Maridjan yang berbentuk huruf ‘L’. Perlahan mereka menggali tumpukan debu vulkanik. Tiba-tiba, pandangan mereka tertumbuk pada sesosok jenazah yang tertindih puing kayu. Posisinya sedang bersujud.

“Si Mbah, si Mbah...,” beberapa anggota Tim SAR berseru, sembari buru-buru menyingkirkan puing kayu.

Don terhenyak. Ia semula tak percaya bahwa tubuh tak bernyawa itu adalah Mbah Mardijan. Apalagi, sebelumnya beredar kabar bahwa Mbah Maridjan telah ditemukan selamat, meski dalam kondisi lemah. Tapi, beberapa anggota Tim SAR yang mengenal baik Mbah Maridjan meyakinkannya bahwa itu memang jenazah sang penjaga Merapi.

Pakaian koyak yang melekat di tubuh itu memang batik dan sarung yang biasa dikenakan si Mbah. Salawat pun bergema. Air mata Don dan anggota tim lain langsung mengembang. Mereka pun memasukkan jenazah si Mbah di kantung mayat, menuliskan huruf ‘M’ di atasnya dengan spidol, dan langsung melarikannya ke RSUP Dr. Sardjito, Yogyakarta.

Roger...
Bagi sebagian anggota tim SAR, Mbah Maridjan memang bukan sosok yang asing. Bila mendaki Merapi lewat jalur selatan, mereka selalu sowan terlebih dahulu ke tempat Si Mbah. Di rumah yang kini telah porak poranda itu, dulu mereka sering bercengkerama.

Berkat interaksinya dengan para pemuda pecinta alam itulah, yang selalu membawa perangkat komunikasi radio handy talkie, si Mbah mengenal istilah ‘roger’. Maka, jangan heran bila di akhir kalimat pembicaraannya, Mbah Maridjan sering mengimbuhi kata "..., roger.”

Kenangan itu kini terkubur tebalnya lapisan debu vulkanik.
Pada 26 Oktober 2010, pukul 17.02 WIB Merapi mulai ‘batuk’ lagi, sejak meletus terakhir 2006. Diperkirakan, pada letusan yang kedelapan pada pukul 18.21 WIB, Merapi mengembuskan wedhus gembel yang tanpa ampun menyapu bersih dukuh Kinahrejo, Umbulharjo, Cangkringan, Sleman, Yogyakarta.

Hingga berita ini diunggah, awan piroklastik itu setidaknya menyudahi nyawa 36 orang di Kinahrejo dan dusun sekitarnya, termasuk editor senior VIVAnews.com Yuniawan Wahyu Nugroho dan relawan PMI Sleman, Tutur Prijono.

Sebenarnya, Wawan--nama sapaan Yuniawan--dan Tutur, sudah sempat mengungsi dari Kinahrejo, bersama Agus Wiyarto (asisten dan kerabat Mbah Maridjan), anggota keluarga si Mbah, dan beberapa penduduk desa. Akan tetapi, sesampainya di pengungsian Umbulharjo, dengan mengendarai minibus Suzuki APV, Tutur dan Wawan berkeras kembali untuk menjemput Mbah Maridjan yang memilih bertahan di rumahnya. Di tengah hari yang mulai gelap, mereka tanpa ampun disergap bara wedhus gembel.

Tim evakuasi gelombang pertama menemukan jenazah mereka di belakang mobil APV yang diparkir di depan rumah Mbah Maridjan. Saat ditemukan, mesin mobil masih menyala dengan pintu terbuka. Kemungkinan, Wawan dan Tutur sedang menunggu Mbah Maridjan yang sedang salat. (Kisah Wawan selengkapnya bisa dibaca di sini)

Mbah Maridjan dikenal tak pernah meninggalkan salat lima waktu. Menurut Agus Wiyarto, si Mbah selalu bergegas meninggalkan segala aktivitasnya saat terdengar azan untuk menunaikan salat. Jika ada tamu, si Mbah selalu mengajak salat bersama.

Kebiasaan itu masih begitu lekat dalam ingatan Jangkung Suseno Aji, kamerawan Rumah Produksi Indigo. Usai mewawancarai si Mbah pada 2006, Seno dan reporternya bersiap untuk pulang. Namun, karena sudah malam, si Mbah menyarankan mereka untuk bermalam.

“Jangan turun dulu, salat dulu. Besok pagi saja pulangnya, sekarang sudah gelap,” kata Mbah Maridjan dalam bahasa Jawa.

Sepanjang malam, Si Mbah bercerita banyak hal sambil menyelipkan nasihat-nasihatnya. Meski apa yang diucapkannya sepintas terdengar sepele karena diutarakan dengan cara yang lugu, perkataan si Mbah buat Seno punya arti mendalam.

Saat Merapi kembali aktif pada pertengahan April-Mei 2006, banyak wartawan datang meliput. Mbah Maridjan berkali-kali mengatakan, “Kenapa datang ke sini? Merapi sih sudah biasa batuk-batuk. Kenapa tidak justru ke Selatan, karena akan terjadi sesuatu.”
Dua pekan setelah itu--entah kebetulan entah tidak--ucapan Mbah Maridjan terbukti. Pada 27 Mei 2006, Yogyakarta diguncang gempa dan menelan lebih dari 6.200 korban jiwa.
Tiga minggu setelahnya, pada 8 Juni, gunung berapi itu menyemburkan debu panas, melewati kawasan Kaliadem. Namun, ketika itu wedhus gembel tak menyiram Kinahrejo sehingga Mbah Maridjan dan warga pengikutnya yang memilih bertahan, selamat.

Gaji Rp8.000
Bagi warga sekitar Merapi, Mbah Maridjan adalah tokoh panutan. Apalagi, kakek yang lahir 83 tahun lalu itu adalah putra juru kunci Merapi sebelumnya, Mbah Hargo. Ia mulai dilibatkan sebagai asisten juru kunci oleh ayahnya sejak 1965, sebelum diangkat menjadiabdi dalem keraton pada 1974.
Ketika ayahnya meninggal, pria bernama asli Mas Penewu Surakso Hargo itu akhirnya dilantik menjadi juru kunci oleh Sri Sultan Hamengkubuwono IX dengan titel Raden Ngabehi Surakso Hargo.

Sebagai juru kunci, ia diberi amanat untuk menjaga dan mengawasi Merapi. Ia memimpin berbagai ritual di Merapi, termasuk upacara tahunan Labuhan, di mana warga Merapi melemparkan sesaji ke kawah.

Menurut keterangan Agus, untuk jabatannya itu si Mbah hanya digaji Rp8.000 sebulan.
Ketika si Mbah menjadi bintang iklan Kuku Bima Energi, banyak yang mempertanyakan kenapa tiba-tiba sang penjaga Merapi jadi komersil. Tentang ini, Irwan Hidayat, CEO Sido Muncul, bercerita.
Pertama kali bertemu Mbah Maridjan, ia diantar almarhum Sumadi Wonohito, pemilik Harian Kedaulatan Rakyat. Di awal bertamu, Irwan diperkenalkan sebagai seorang pengusaha kaya dari Jakarta. Mendengar itu, reaksi si Mbah datar-datar saja. Menoleh pun tidak. Sekadar menjaga kesopanan, ia hanya berkata, “Inggih, inggih... (iya, iya...)."
Baru setelah Irwan memperkenalkan diri sebagai adik ipar Anton Sujarwo, si Mbah menoleh dan bersikap ramah. “Saya tidak tahu kalau Bapak adik ipar Pak Anton,” Irwan mengenang.

Ditawari jadi maskot Kuku Bima, si Mbah semula menolak. Ia baru bersedia setelah Irwan membujuknya sembari membawa-bawa nama Anton Sujarwo. “Pak Anton itu orang baik. Karena Beliau, warga di sini bisa mendapat air, memelihara ternak, dan sebagainya,” Irwan menirukan Mbah Maridjan.
Mbalelo
Dikisahkan Agus, si Mbah adalah orang yang bersahaja. Ia berprinsip manusia baru punya nilai dan dianggap berkarya bila mampu mengemban amanah dan tanggung jawab. Begitu pula ia memaknai posisinya sebagai juru kunci.
Karena itulah dia kerap berseberangan pandangan soal bahaya Merapi. Tiap kali Balai Penyelidikan dan Pengembangan Teknologi Kegunungapian merilis data peningkatan aktivitas Merapi, Mbah Maridjan tak mau mengungsi. Ia merasa sudah menjadi tugasnya untuk menjaga Merapi sampai akhir hayat.

Anton Sujarwo, tokoh yang mengenal baik Mbah Hargo, mengatakan sifat-sifat Mbah Maridjan itu menurun dari ayahnya. “Mbah Hargo menurunkan sifat-sifat keteguhan hati, dedikasi, dan pengabdian,” katanya.

Anton mengenal Mbah Hargo sejak 1970, saat yayasannya, Dian Desa, memulai proyek sosial pemasangan jaringan pipa air bersih ke tujuh dukuh di sekitar lereng Merapi. Menurutnya, pengabdian itu diwujudkan si Mbah dalam bentuk kerelaan hidup sederhana di tempat berbahaya seperti Merapi.
Karena keteguhan hatinya itu, tak jarang Mbah Maridjan disebut sebagai orang yang keras kepala. Tak kurang, oleh Sri Sultan HB X, si Mbah disebut abdi dalem yang mbalelo(membangkang).
Pada 15 Mei 2006, Merapi meletus. Presiden SBY meninjau dan bermalam di lokasi. Seluruh kepala dukuh di sekitar Merapi menghadap. Cuma satu yang absen. Dia adalah Mbah Maridjan.
Ketika Sri Sultan HB X secara langsung membujuk Mbah Maridjan untuk turun mengungsi, ia tak menggubrisnya.
"Wartawan, tentara, polisi punya tugas. Saya juga punya tugas untuk tetap di sini," kata dia.
Si Mbah rupanya kerap tak cocok dengan pilihan langkah Sri Sultan HB X. Menurut Agus, ia misalnya prihatin ketika Raja Jawa itu mencalonkan diri menjadi Presiden.
“Kalau Sri Sultan menjadi presiden, nanti Beliau didemo orang. Lebih baik Beliau menjadi Raja Jawa saja, tidak akan ada yang mendemo," Agus menirukan si Mbah. "Mbok yo ojo nggolek jenang, ning jeneng. Yen nggolek jenang, mengko jenenge keri. Nanging yen nggolek jeneng, jenange katut.” (Semestinya jangan mencari jenang [dodol], tapi mencari jeneng[nama baik, kehormatan]. Kalau mencari jenang, nanti jeneng-nya hilang. Tapi kalau mencarijeneng, jenang sudah pasti termasuk di dalamnya].
Sikap keras kepala itu juga yang ditunjukkan dia sampai akhir hidupnya. Lima hari sebelum Merapi meletus, kata Agus, si Mbah masih hakulyakin aliran lava Merapi akan mengarah ke Kali Opak dan berhenti di Gunung Anyar, tanpa melukai penduduk.

Mendengar peringatan pemerintah, Mbah Maridjan cuma berkali-kali berujar, “Ning arep mati ojo keakehan polah. Nrimalah (kalau akan meninggal, jangan kebanyakan tingkah. Berpasrah diri sajalah)."
Kala kepundan Merapi masih memuntahkan material panas ke angkasa, nisan Mbah Maridjan ditancapkan di tanah pemakaman keluarga di Dusun Srunen, Desa Glagahharjo, Cangkringan. Jasad sang penjaga Merapi kini menyatu dengan bumi yang selama ini dijaganya.
Selamat jalan, Mbah. Roger...
(Laporan: KDW dan Fajar Sodiq, Yogyakarta | kd)